Maria Walanda Maramis
Maria Walanda MaramisLahir di Kema 1 - 12 - 1872
Wafat di Menado, Maret 1924
Makam di Maumbi, Manado
Kabupaten Minahasa Utara (Minut) dengan ibukota Airmadidi, adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Minahasa. Kabupaten ini memiliki lokasi yang strategis karena berada di antara dua kota yaitu Manado dan kota pelabuhan Bitung. Batas wilayah Minut, utara : Kabupaten Kepulauan Sangihe, Talaud dan Laut Sulawesi, selatan: Kabupaten Minahasa, barat : Kota Manado, timur : Kota Bitung dan Laut Maluku.
Minut memiliki luas wilayah 955,32 Km², dengan jumlah penduduk 153.588 jiwa berdasarkan sensus penduduk 2000. Minut memiliki delapan kecamatan.
Sumber Daya
Tanaman kelapa tersebar di seluruh wilayah Minut dan merupakan usaha tani utama penduduk. Selain hasil perkebunan kelapa, kekayaan laut dan deposit emas juga terkandung di wilayah Minut.
Ibu. Maria Y. Walanda-Maramis
(1872-1924)
Pahlawan Nasional Indonesia
Nama : Maria Josephine Chatarine Maramis
Nama populer : Ny. Maria Walanda-Maramis / Noni
Lahir : Kema, 1 Desember 1872
Meninggal : Maumbi, 22 April 1924
Keluarga:
Ayah : Bernardus Maramis
Ibu : Sarah Rotinsulu
Om : Esau Rotinsulu (Mayoor Tonsea)
• Suami : Joseph Frederick Kalusung Walanda (menikah tahun 1891)
• Anak :
1. Wilhelmina Frederika Walanda
2. Paul Alexander Walanda
3. Anna Pawlona Walanda
4. Albertina Pauline Walanda
Pendidikan:
Peranan-Peranan:
- tanggal 8 Juli 1917 mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya)
Maria Walanda-Maramis dan suaminya pada peringatan hari pernikahan mereka.
Maria Walanda-Maramis dilahirkan di Kema pada tanggal 1 Desember 1872 dari keluarga Maramis-Rotinsulu. Ia mempunyai dua orang kakak, masing-masing Altje Maramis dan Andries Maramis (ayah Mr. A.A. Maramis).
Ketika baru berusia setahun, kedua orang tuanya meinggal dunia karena epidemi. Ia kemudian diambil oleh omnya yaitu T. Enoch Rotinsulu yang tinggal di Maumbi. Mereka mengasuh dan mendidik Noni seperti anak kandung mereka. Kemudian ia disekolahkan di SD Maumbi.
Selama dalam asuhan keluarga Enoch Rotinsulu, Noni menunjukkan sifat-sifat sederhana, patuh, rajin dan cakap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya seperti merawat rumah, memasak dan tugas lainnya sebagai wanita. Dalam tingkah lakunya sehari-hari sudah nampak sejak kecil kehalusan jiwanya, pengetahuan yang luas dan tinggi, berjiwa besar dan seorang wanita yang mempunyai cita-cita tinggi.
Ibu Maria menikah di Maumbi dengan orang Tanggari bernama Joseph Frederick Kalusung Walanda tanggal 22 Oktober 1891. Setelah menikah Ibu Maria lebih dikenal dengan Ny. Maria Walanda-Maramis. Keduanya dikaruniai 4 orang anak, yaitu 3 orang putri dan seorang putra, masing-masing bernama Wilhelmina Frederika, Paul Alexander, Anna Pawlona dan Albertina Pauline.
Dengan bantuan teman-temannya, Noni Walanda-Maramis mendirikan organisasi PIKAT, yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya, pada tanggal 8 Juli 1917 sebagai langkah pertama untuk mewujudkan cita-citanya.
Melalui PIKAT, berdirilah Huis Houd School atau Sekolah Rumah Tangga PIKAT pada tahun 1918. Wanita yang diterima dalam sekolah ini adalah wanita-wanita pribumi (Minahasa, dll) baik dari golongan tinggi, menengah maupun rendah. Di sana diberikan pengetahuan tentang pengurusan rumah tangga, memasak, menjahit, etiket (sopan santun). Melalui lembaga pendidikan ini kedudukan kaum wanita pribumi Hindia-Belanda di Minahasa makin lama makin meningkat.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda:
tahun 1909-1916 A.W.F. Idenburg (kiri), dan tahun 1916-1921 J.P. graaf Van Limburg Stirum (kanan).
Maria Walanda-Maramis meinggal di Rumah Sakit Manado pada tanggal 22 April 1924 dan dikuburkan di Maumbi. Pada detik-detik terakhir mengakhiri hidupnya, Ibu Walanda-Maramis sempat berpesan kepada suami dan teman-temannya, “Tolong lanjutkan hidup anakku yang bungsu , yaitu PIKAT.” Suami dan teman-teman dekatnya yang begitu mengasihinya berjanji untuk memelihara dan melanjutkan PIKAT dan sekolahnya.
Atas jasa-jasanya, melalui perjuangan BPP PIKAT dan pimpinan-pimpinan cabang di Manado, Kepala Inspeksi Sosial Sulut serta restu Gubernur Sulut H.V. Worang, Noni diusulkan kepada pemerintah untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pemerintah RI dengan pertimbangan yang matang yaitu dengan memperhatikan perjuangannya yang tidak kenal pamrih dan tidak pernah padam demi kemajuan wanita dalam penindasan, menetapkan Maria Walanda-Maramis pada tanggal 20 Mei 1969 sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (Pahlawan Nasional Indonesia), sejajar dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya di Indonesia.
Maria Josephine Catherine maramisMaramis (Kema, 1 Desember 1872 - Manado,
22 April 1924)
Apakah lebih dikenal
Maria Walanda Maramis sebagai dan diakui sebagai pahlawan nasional di Indonesia untuk usahanya untuk memajukan kondisi perempuan di Indonesia pada awal abad ke-20. Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis op-eds di surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel ini, ia berpendapat pentingnya peran ibu dalam unit keluarga. Dia menekankan bahwa perawatan dan kesehatan keluarga adalah tanggung jawab ibu. pendidikan awal seorang anak juga datang dari ibu.
Menyadari kebutuhan untuk melengkapi maramis2women muda untuk peran mereka sebagai pengasuh keluarga mereka, Maramis dengan bantuan beberapa orang lainnya mendirikan sebuah organisasi bernama "The Love of Ibu terhadap" Anak-anak nya (Indonesia: Percintaan Ibu Kepada Anak Turun-temurunnya (PIKAT )) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mengajar perempuan dengan tingkat sekolah dasar hal pendidikan keluarga, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, dan kerajinan tangan.
Untuk menghafalkan-nya, built artistik makam dan monumen untuk harga layanan nya. Terletak di desa Maumbi sekitar 9 km dari Manado, dapat dicapai dengan dengan kendaraan lokal.
Maria Josephine Catherine Maramis (Kema, December 1st, 1872 - Manado,
April 22th, 1924)
Maria Walanda Maramis, Pejuang Emansipasi Perempuan dari Sulawesi
>> Tuesday, November 25, 2008
Tidak banyak tulisan yang mengungkapkan tentang Maria Walanda Maramis. Padahal apabila melihat sepak terjang beliau, cukup memberikan kontribusi dalam sejarah emansipasi perempuan di negeri ini.
Maria Josephine Chaterine Maramis, atau lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis, lahir di Kema, sebuah kota kecil di Kabupaten Minahasa Utara pada tanggal 1 Desember 1872. Maria adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries kemudian terlibat dalam pergolakan kemerdakaan Indonesia.
Ketika berumur 6 tahun, kedua orang tua Maria meninggal dan Maria beserta saudara-saudaranya dibawa oleh Pamannya (Rotinsulu) ke Maumbi. Di sana Maria dan Antje disekolahkan di Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah ini setingkat Sekolah Dasar, dimana para siswanya belajar membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Pada saat itu, pendidikan bagi perempuan sangat rendah, karena mereka diharapkan untuk menikah dan mengasuh anak.
Berutung, Paman Maria, Rotinsulu merupakan orang terpandang dan memiliki banyak teman yang pada umumnya orang Belanda, sehingga Maria memiliki pergaulan yang luas meskipun hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar. Maria akrab dengan salah satu keluarga pendeta Belanda, Ten Hoeven. Pendeta yang mempunyai pandangan luas di bidang pendidikan tersebut sangat mempengaruhi jiwa Maria. Maria kemudian bercita-cita untuk memajukan perempuan Minahasa. Ini tidak lepas dari keadaan saat itu, dimana adat istiadat merupakan hambatan bagi kaum perempuan. Akibat pendidikan yang rendah, banyak perempuan kurang mengerti tentang persoalan kesehatan, rumah tangga dan mengasuh anak.
Maria menikah pada umur 18 tahun dengan Yosephine Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. Dari suaminya, Maria banyak belajar tentang bahasa dan pengetahuan lain seperti keadaan masyarakat di Sulawesi. Pada bulan Juli 1917, dengan bantuan suaminya serta kawan-kawannya yang lain, Maria mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya). Organisasi ini bertujuan untuk mendidik kaum perempuan dalam hal rumah tangga, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan dan sebaganya.
Maria berpendapat bahwa perempuan adalah tiang keluarga, dimana di pundak perempuan inilah tergantung masa depan anak-anak. Oleh karenanya, perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Maria juga melihat kenyataan di masyarakat, dimana banyak anak perempuan yang bersekolah dan mempunyai keahlian seperti juru rawat dan bidan namun akhirnya menjadi ibu rumah tangga biasa. Melalui tulisannya di harian Tjahaja Siang di Manado, Maria mengemukakan pemikiran-pemikirannya tentang perempuan.
Kepada ibu-ibu terkemukan di daerah lain, Maria menganjurkan agar mendirikan cabang PIKAT. Kemudian tumbuh cabang-cabang PIKAT di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, Sangirtalaud, Gorontalo, Poso dan Motoling. Cabang PIKAT juga terdapat di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Magelang, Surabaya, Balikpapan, Sangusangu dan Kotaraja. Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT.
Untuk menambah pemasukan uang, Maria menjual kue-kue dan pekerjaan tangan. Inisiatif Maria ini kemudian membuat hampir setiap orang terpandang di Manado memberikan sumbangan untuk sekolah tersebut. Selain itu Maria juga mengadakan pertunjukkan sandiwara Pingkan Mogogumoy, sebuah cerita klasik Minahasa. Berkat usahanya tersebut, berhasil didirikan gedung sekolah dan asrama.
Hampir setiap bulan Maria mengadakan rapat dengan pengurus cabang setempat, seperti Pandano, Tomohon, Amurang, Airmadidi, dan Bolang Mongondow. Maria juga selalu menanamkan rasa kebangsaan di hati kaum perempuan, dengan menganjurkan memakai pakaian daerah dan berbahasa Indonesia.
Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif untuk mewujudkan cita-citanya, agar kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Maria juga yakin bahwa perempuan mampu mengikuti pelajaran yang lebih tinggi seperti laki-laki. Selain itu, Maria juga berusaha agar perempuan diberi tempat dalam urusan politik, seperti duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad (Dewan Rakyat).
Pada tanggal 22 April 1924, Maria meninggal dunia. 45 tahun kemudian, Maria dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
MARIA Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20.
Kehidupan awal
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten [[Minahasa utara], dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
Hak pilih wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Kehidupan keluarga
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
Seharusnya Maramis, Bukan Kartini
Dikutip dari mdopost.com - Oleh: Tommy Waworundeng 22 April 2008.
KEMARIN, tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Kita masyarakat Sulawesi Utara lupa atau tidak tahu 22 April hari ini, hari meninggalnya Pahlawan Nasional asal tanah Toar Lumimuut Maria Walanda Maramis. Kenapa kita tidak peringati saja Hari Maramis.
Entah mengapa Raden Ajen Kartini bisa menjadi begitu istimewa. Di Manado, Senin kemarin wanita-wanita di sejumlah instansi swasta semua seragam pake kebaya. Manado Post dan koran-koran lokal di daerah ini juga serempak memprofilkan sejumlah perempuan tangguh dari berbagai profesi, dalam rangka mengenang Hari Kartini.
Di radio dan TV juga, banyak sekali wanita-wanita Indonesia yang ditanya tentang makna hari Kartini dan kartini itu sendiri. Namun sayangnya banyak jawaban yang diberikan sangat diplomatis dan alasan-alasan yang klise.
Saya penasaran untuk kembali membaca tentang sejarah-sejarah RA Kartini. Sampai di mana keistimewaannya sehingga hari lahirnya diperingati dengan namanya? Kenapa juga Kartini dianggap sosok yang memperjuangkan kebangkitan perempuan? Memangnya apa yang diperjuangkan Kartini? Kenapa bukan Maria Walanda Maramis, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Emmy Saelan, Christina Martha Tiahahu, atau lainnya?
Sejarah yang saya pelajari di bangku SD hingga SMA soal Kartini, masih menimbulkan tanda tanya dalam benak saya. Saat browse di internet lewat mesin pencari Google dengan mengetik ‘Pahlawan RA Kartini’, tidak banyak yang menceritakan perjuangan Kartini. Malah lebih banyak tulisan-tulisan yang meragukan sang pahlawan emansipasi wanita Indonesia tersebut.
Berikut ini antara lain beberapa kontroversi yang menjadi perdebatan banyak kalangan dalam forum diskusi di internet akan sosok RA Kartini.
Kontroversi-1. Keaslian pemikiran RA Kartini dalam surat-suratnya diragukan. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu, melakukan editing atau merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Kita hanya disuguhi tulisan-tulisan yang bersumber dari buku yang diterbitkan oleh Abendanon semata.
Kontroversi-2. RA Kartini dianggap tidak konsiten dalam memperjuangkan pemikiran akan nasib perempuan Jawa. Dalam banyak tulisannya dia selalu mempertanyakan tradisi Jawa (dan agama Islam) yang dianggap menghambat kemajuan perempuan seperti tak dibolehkan bersekolah, dipingit ketika mulai baligh, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, menjadi korban poligami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Namun demikian, bertolak belakang dengan pemikirannya, RA Kartini rupanya menerima untuk dinikahkan (bahkan dipoligami) dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903, pada usia 24 tahun.
Kontroversi-3. RA Kartini dianggap hanya berbicara untuk ruang lingkup Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia/Hindia Belanda. Pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam rangka memperjuangan nasib perempuan Jawa, bukan nasib perempuan secara keseluruhan.
Kontroversi-4. Tidak jelas persinggungan RA Kartini dengan perlawanan melawan penjajahan Belanda seperti umumnya pahlawan yang kita kenal. Tak pernah terlihat dalam tulisan dan pemikirannya adanya keinginan RA Kartini untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda saat itu, apalagi membopong senjata.
Kontroversi-5. Dari sudut pandang sejarah, pemikiran RA Kartini dalam emansipasi wanita lebih bergaung daripada tokoh wanita lainnya asal Sulawesi Utara Maria Walanda Maramis. Walaupun langkah gerak Maramis justru lebih progressif. RA Kartini lebih terkenal dengan pemikiran-pemikiran nya, sementara Maramis tak hanya giat berpikir, tapi juga mengimplementasikan pemikirannya ke gerak nyata dalam masyarakat dengan mendirikan sekolah khusus putri. Maramis mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917.
Bahkan di Wikipedia Indonesia dan ensiklopedia, justru Maria Walanda Maramis yang dianggap paling tepat menjadi sosok yang berhasil mengangkat kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Dikarenakan, wanita yang bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis, dianggap Pahlawan Nasional Indonesia yang berhasil mengangkat kwadrat wanita Indonesia.
Maria sendiri lahir di Kema, sebuah desa kecil yang sekarang berada di Kabupaten Minahasa Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Seperti yang saya kutip dari Wikipedia Indonesia, Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun. Kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah.
Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Yang diperjuangkan wanita Indonesia saat ini soal kuota kursi wanita di Legislatif juga, sudah diperjuangkan Maria Maramis sejak tahun 1919. Di mana pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu. Tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut.
Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia (Jakarta) yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad. Namun untuk duduk menjadi anggota Minahasa Raad belum disetujui.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Ia pun mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969. Namun sayangnya kita di Sulawesi Utara hanya menghargai MW Maramis dengan mendirikan patung.
Kenapa kita masyarakat Sulawesi Utara tidak merayakan setiap 22 April sebagai Hari Maramis untuk lebih membangkitkan semangat perempuan-perempuan Minahasa. Apalagi belakangan ini perempuan-perempuan Manado dikonotasikan dengan wanita murahan. Belum lagi Sulut menjadi salah satu daerah yang angka perdagangan wanitanya cukup tinggi.
Karena itu jika bisa diterima, Pemerintah Provinsi mengambil kebijakan, menetapkan hari ini, 22 April sebagai Hari Maramis. Wanita-wanita di sejumlah instansi swasta dan pemerintah juga setiap 22 April seragam mengenakan pakaian adat Minahasa, bukan pake kebaya. (***)
Pria yang merupakan calon kuat wakil gubernur dari PDI Perjuangan itu, mengungkapkan hal ini usai melakukan ziarah memperingati Hari Ibu di makam Walanda Maramis di Maumbi Minahasa Utara. “Kondisi kepemimpinan sekarang sangat berbahaya, jika tidak meneladani perbuatan Bunda Walanda Maramis,” kata Jackson.
Menurut dia, figur Walanda Maramis atau nama aslinya Maria Josephine Catherine Maramis perlu ditumbuh-kembangkan, karena semasa hidupnya berhasil mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20. Apalagi, Walanda yang lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di Minahasa utara, adalah sosok sederhana dan giat bekerja keras. “Meski Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal, tapi Bunda mampu eksis dalam dunia pendidikan,” kata dia mengenang perjuangan keluarga Maramis.
Nofie Iman
Memaknai Kembali Hari Kartini
April 21st, 2010 | Uncategorized
“Seseorang itu tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun menjadi perempuan.” —-Simone de Beauvoir
Jujur saja, tanpa bermaksud mendiskreditkan peran Kartini, saya sering mempertanyakan kiprah Kartini baik di masanya maupun dalam konteksnya di jaman modern ini. Kartini sebenarnya cukup beruntung terlahir sebagai kaum borjuis Jawa, mengenyam pendidikan barat, dan punya privilige yang tak dimiliki kaum perempuan di masanya yang hanya dianggap sebagai “konco wingking“. Saya yakin bahwa yang punya ide untuk memajukan perempuan di masa itu tak cuma Kartini.
Memang benar bahwa Kartini sering mengeluhkan apa yang ia pikirkan lewat korespondensinya dengan Stella Zeehandelaar—-terutama tentang praktik pingit pada gadis Pribumi. Tapi yang kemudian mengumpulkan dan menerbitkannya menjadi buku adalah orang Belanda. Kartini memang mendirikan sekolah wanita, tapi karena pengaruh suaminya, tidak ada masalah dalam pendirian sekolah tersebut. Faktanya, ia tetap menjadi korban sistem karena dinikahi bupati berumur di usianya yang masih belasan.
Selain Kartini, kita tahu ada Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu yang jadi panglima perang tersohor. Ada juga Dewi Sartika atau Maria Walanda Maramis yang membaktikan dirinya sebagai pendidik. Kiprah mereka jelas lebih konkrit daripada sekadar (maaf) menulis surat-surat. Ironisnya, kita tahu persis tanggal lahir Kartini, tapi jarang yang tahu kapan hari lahir Jendral Soedirman atau Mohammad Hatta. Sungguh sebuah kultus individu yang terkesan agak berlebihan
Maria Walanda Maramis
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20[1].
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditasbihkan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".[2]
Untuk mengenang kebesaran beliau, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di kelurahan Komo Luar Kecamatan weang sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.[3]
Daftar isi |
//
[sunting] Kehidupan awal
Maria lahir di Kema, sebuah kota kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara, dekat Kota Airmadidi propinsi Sulawesi Utara. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
[sunting] Dorongan Bumi Minahasa
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di bawah kuasa soerang residen.[4] Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Lagoan.[5]
[sunting] PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
[sunting] Hak pilih wanita di Minahasa
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
[sunting] Kehidupan keluarga
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya.
[sunting] Rererensi
- ^ JJ.Rizal. 2007. Maria Walanda Maramis (1872-1924) Perempuan Minahasa, Pendobrak Adat dan Pemberotak Nasionalisme, dalam "Merayakan Keberagaman", Jurnal Perempuan Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal.87-98.
- ^ N.Graffland dalam Maria Ulfah Subadio, T.O.Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1978.
- ^ http://www.manadokota.info/index.php?option=com_content&view=article&id=166&Itemid=97
- ^ David E.F.Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies, KITLV Press, 1996.
- ^ RZ.Leirissa, "Copracontracten: An Indication of Economic Development in Minahasa During the Colonial Period" dalam J.Th.Linbad (ed.), Historical Foundations of A National Economy in Indonesia 1890s-1990, Amsterdam, hal.265-277.
- Manus, M. (1985). Maria Walanda Maramis. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kayak Pierre Tendean ???
---------------
ilham benar, walanda maramis merupakan pahlawan nasional.
berikut biografi singkat maria walanda maramis:
Maria Yosephine Catharina Maramis dilahirkan di Kema, kota pelabuhan kecil di Sulawesi Utara pada tanggal 1 Desember 1872. Cita-citanya adalah untuk memajukan kaum wanita, agar mereka kelak dapat mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak mereka.
Pada usia 6 tahun, Maria sudah menjadi yatim-piatu. Sejak itu ia dan dua saudaranya diasuh oleh paman dan bibinya Ezam Rotinsulu di Airmadidi. Sekolah Maria hanya sampai sekolah dasar di kota kecil itu. Pada waktu itu gadis-gadis Minahasa tidak diizinkan untuk bersekolah lebih tinggi dari sekolah dasar. Mereka hanya tinggal di rumah membantu orang tua sampai tiba saatnya untuk menikah.
Paman Maria termasuk orang terpandang dan mempunyai kenalan luas, di antaranya Pendeta Ten Hoeven. Perkenalan dan pergaulan Maria dengan Pendeta Ten Hoeven, memperluas pengetahuan Maria. Sejak itu Maria bercita-cita untuk memajukan kaum wanita Minahasa. Cita-citanya itu bertambah subur setelah ia menikah dengan seorang guru HIS Manado pada tahun 1890. Dengan bantuan suaminya Yoseph Frederik Calusung Walanda, berserta beberapa orang terpelajar lainnya, maka pada bulan Juli 1917 berdirilah sebuah organisasi. Organisasi itu diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT).
Tujuan organisasi itu adalah mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal rumah tangga. Seperti masak-memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan dan sebagaianya. Wanita adalah tiang rumah tangga dan di tangga mereka pulalah tergantung masa depan anak-anak, pikir Maria.
Organisasi PIKAT mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat dan dalam waktu singkat berdirilah cabang-cabangnya di Sangirtalaud, Gorontalo, Poso, Ujungpandang dan lain-lain. Bogor, Malang, Surabaya, Bandung, Cimahi dan Magelang. Di Kalimantan terdapat pula cabang PIKAT seperti di Balikpapan, Sangusangu dan Kotaraja.
Hambatan utama adalah dalam soal pembiayaan, namun berkat kegigihan Maria, kesulitan itu dapat pula diatasi. Pada tahun 1920 Gubernur Jenderal Belanda memberikan sumbangan uang kepada organisasi tersebut. Rasa kebangsaan pun ditanamkan dalam jiwa murid-muridnya. Mereka dianjurkan untuk selalu memakai pakaian daerahnya.
Maria Walanda Maramis meninggal dunia pada tahun 1924 dan jasadnya dimakamkan di Maumbi, Sulawesi Utara.
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/danautondano2.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/tomohon.jpg
http://farm2.static.flickr.com/1436/1395779683_c32861aa1b_b.jpg
http://farm2.static.flickr.com/1103/1396655592_41dd6eb35d_b.jpg
http://farm2.static.flickr.com/1368/1396662680_256db1e435_b.jpg
http://farm2.static.flickr.com/1228/1396652054_bc316d0ac6_b.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/samratulangi.jpg
Jl. Sudirman
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/jlsudirman1-1.jpg
Jl. Pierre Tendean
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/boulevard2.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/boulevard3.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/boulevard4.jpg
Tikala
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/tikala1.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/tikala4.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/tikala.jpg
Jl. BW Lapian (pusat oleh-oleh)
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/lapian1.jpg
Jl. Sarapung
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/sarapung.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat8.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat10.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat11.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat12.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat13.jpg
http://i242.photobucket.com/albums/ff299/ferriapriyandi/Manado/bandara/samrat14.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar